Profile

PONDOK PESANTREN TAHFIDZIL QURAN MUHAMMADIYAH IBNU JURAIMI YOGYAKARTA

 

Visi

Mencetak kader hafidz Al-Qur’an yang ber-akhlak mulia, berjiwa da’i dan memiliki pemahaman serta pengamalan Islam yang lurus.

Tujuan

Mengingat sangat minimnya kader hafidz dari persyarikatan Muhammadiyah dan dalam rangka mengamalkan semboyan persyarikatan Muhammadiyah untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan berdirinya Ma’had Tahfizh Al-Qur’an Muhammadiyah Ibnu Juraimi diharapkan dapat mencetak kader hufadz yang memiliki kepekaan terhadap permasalahan umat dan perkembangan zaman (tajdid) serta aktif dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana cita-cita didirikannya persyarikatan Muhammadiyah.

Misi

  1. Menjalankan dan mengembangkan pola pendidikan tahfidzul qur’an terpadu yang berbasis nilai-nilai keislaman dan Kemuhammadiyahan
  2. Membekali santri dengan keilmuan Al-Qur’an dan kajian keislaman sehingga memiliki khazanah keilmuan memadai untuk terjun di masyarakat
  3. Memberikan pemahaman tafsir Al-Qur’an dan pengamalannya
  4. Mempromosikan tradisi menghafal Al-Qur’an di persyarikatan Muhammadiyah
  5. Mensyi’arkan dan menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an di tengah-tengah masyarakat

Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan mukjizat abadi dan agung Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang sangat indah lagi menawan dalam sastra, dan uslub (gaya bahasa), serasi dan seimbang kata demi katanya, tinggi kandungan ilahiyah yang dibawanya, serta benar berbagai informasi ghaib dan ilmu pengetahuan yang disampaikannya. Sehingga pantaslah seandainya Al-Qur’an diturunkan kepada gunung, niscaya gunung itu akan tunduk, hancur berkeping-keping (QS. Al-Hasyr: 21), dan dibacakan kepada segolongan jin, niscaya mereka akan terpesona dan takjub (QS. Al-Ahqaf: 29-30, QS. Al-Jin: 1). Itulah kedahsyatan dari Al-Qur’an.

Seseorang yang ingin berjalan menuju keridaan Tuhan mereka, selamat dan tercerahkan mengarungi pelik kehidupan dunia dan akhirat wajib merujuk dan berpegang teguh dengan Kalamullah. Kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap manusia diwujudkan dengan diturunkannya Al-Qur’an. Ilustrasi sederhana untuk menggambarkan betapa besarnya kasih sayang Allah Azza Wa Jalla dengan menurunkan Al-Qur’an. Seandainya manusia adalah sebuah robot atau komputer, maka Al-Qur’an merupakan buku petunjuk SOP yang mengatur cara kerja, kebaikan, dan seluk beluk robot atau komputer agar tetap lestari dan terhindar dari kerusakan. Akan menjadi bencana jika untuk merawat dan memperbaiki robot atau komputer bukan menggunakan buku petunjuk keduanya. Yakni, Menggunakan buku petunjuk mesin jahit, mesin cuci, jam tangan atau lainnya. Demikian halnya jika manusia tidak merujuk kepada kitab petunjuk atau SOP yang akan membawa kebaikan terhadap dirinya, mereka akan rusak dan binasa tidak mengetahui arah dan hakikat kebenaran sesungguhnya. Allah Azza Wa Jalla adalah Al-Khaliq dan Al-‘Alim segala sesuatu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengetahui bagaimana agar manusia itu baik dan bisa memperbaiki lingkungan sekitar. Maka Allah turunkan Al-Qur’an sebagai SOP yang mengatur kebaikan, kebahagiaan, ketentraman manusia di dunia dan akhirat.

Semangat yang diungkapkan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk menuju jalan lurus (QS. Al-Isra: 9), pedoman mengarungi hidup (QS. Thoha: 3, QS. Al-Baqarah: 185), pembeda antara kebenaran dan kebatilan (QS. Al-Furqan: 1), dan obat kegundahan hati (QS. Yunus: 57, QS. Al-Isra’: 82) tampaknya tidak sejalan jika melihat realitas kehidupan masyarakat dewasa ini. Jangankan menjadikan Al-Qur’an sebagai Qanun (undang-undang) yang mengatur kehidupan mereka, membacanya saja sudah sangat jarang. Jangankan membaca Al-Qur’an, membuka saja hanya sesekali. Al-Qur’an hanya dibuka sebulan sekali pada waktu bulan Ramadhan ketika tadarus berjamaah di masjid-masjid, Itupun kalau sempat untuk membuka dan membacanya. Jika tidak sempat Al-Qur’an hanya terpajang rapi di rak-rak buku sehingga dipenuhi debu. Fenomena meremehkan dan acuh tak acuh terhadap Al-Qur’an tentu sangat mengiris hati.

Allah Azza wa Jalla menceritakan kegundahan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam perihal perilaku umatnya terhadap Al-Qur’an

وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَاالْقُرْآنَ مَهْجُورًا

“Rasul berkata: “Wahai Tuhanku sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini diabaikan”      (QS. Al-Furqan (25): 30)”.

Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda, “Akan datang kepada kamu sekalian, suatu jaman dimana Al-Qur’an tinggal tulisan, Islam tidak tegak lagi kecuali hanya nama (HR. Baihaqi).

Ibnu Kasir menjelaskan dalam tafsirnya tentang apa saja yang termasuk dalam kategori perbuatan hajr (mencampakkan) Al-Qur’an. Beliau mengatakan, “Mereka yang ketika dibacakan Al-Qur’an banyak yang membuat kegaduhan dan saling berbicara dengan yang lain sehingga tidak mendengarnya. Ini merupakan bentuk hajr terhadap Al-Qur’an. Tidak mau mempelajari dan menghafalkan Al-Qur’an juga termasuk bentuk hajr terhadap Al-Qur’an. Tidak mau mengimani dan membenarkannya juga termasuk bentuk hajr terhadap Al-Qur’an. Tidak mau mentadabburinya dan memahami maknanya termasuk pula bentuk hajr terhadapnya. Tidak mau mengamalkannya dengan tidak melaksanakan perintah-perintahnya, dan menjauhi larangan-larangannya termasuk bagian hajr terhadapnya. Berpaling darinya dengan lebih memilih selain Al-Qur’an, seperti syair, pendapat (manusia), nyanyian, perbuatan sia-sia, maupun mengambil jalan lain selain Al-Qur’an termasuk dari hajr terhadapnya.

Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, Ibnu Qoyyim di dalam kitabnya “Al-Fawa’id” menjelaskan, bahwa hajrul Qur’an itu ada beberapa macam. Pertama, Tidak mendengarkan, tidak mengimani, dan tidak memperhatikan. Kedua, Tidak mengamalkan, dan tidak menegakkan apa yang dihalalkan dan diharamkan walaupun seseorang itu membacanya dan mengimaninya. Ketiga, Tidak menjadikannya sebagai hukum dan tidak berhukum dengannya, baik menyangkut prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya, serta meyakini bahwa Al-Qur’an tidak memberi faidah keyakinan dan petunjuk-petunjuknya bersifat tekstual semata yang tidak mengandung ilmu. Keempat, Tidak mentadabburinya, tidak memahami maknanya, dan tidak mengetahui apa yang diinginkan darinya oleh yang mengatakannya (yakni Allah SWT). Kelima, Tidak menjadikannya sebagai obat segala macam penyakit hati dan mencari obat dari selainnya, serta tidak mengambilnya sebagai obat bagi penyakit badan.

Ini merupakan catatan penting bagi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang  responsif terhadap persoalan umat. Terlebih Muhammadiyah merupakan ortom yang secara lantang mendengungkan jargon, “Ar-Ruju’ Ila Kitab Wa Sunnah”. Amat sangat miris jika dengan jargon tersebut, namun perilaku dari warga muhammadiyah sendiri mayoritas justru kontradiktif. Banyak warga persyarikatan yang belum mampu membaca Al-Qur’an secara fasih dan benar dengan memperhatikan kaedah tajwid, makhraj, dan sifat huruf sebagaimana yang Rasulullah ajarkan kepada umat ini. Sehingga terdapat statemen yang kurang mengenakan di masyarakat yang ditujukan kepada para da’i dan mubaligh muhammadiyah dan itu sudah jamak. Mereka (baca; masyarakat) mengatakan, “para da’i dan mubaligh muhammadiyah sangat kontra produktif tatkala bertindak sebagai khatib dengan imam. Ketika bertindak sebagai khatib mereka garang layaknya singa podium, bertolak belakang ketika menjadi imam, sangat garing dan tandus. Bacaan para mubaligh kita masih blepotan sana sini dan kacau balau tajwidnya. Aneh memang, sebagai ormas yang mengusung slogan “berkemajuan”, namun bacaan Al-Qur’annya justru “berkemunduran”. Belum lagi berbicara tentang banyaknya perbendaharaan ayat dan surat Al-Qur’an yang dihafal oleh para da’i dan mubaligh muhammadiyah yang mayoritas masih sangat miskin hafalan Al-Qur’an. Padahal memasukkan Al-Qur’an di dalam dada mutlak, penting dan menjadi modal awal menjadi seorang da’i, mubaligh, sekaligus ulama. Keringnya kader ulama di persyarikatan sedikit banyak dipengaruhi karena modal awal untuk mencetak ulama, yakni Al-Qur’an tidak dimiliki dan tidak dilakukan pembinaan sejak dini. Para imam dan ulama pendahulu kita yang faqih, tidak didapatkan mereka kecuali seorang hafidz Al-Qur’an. Sehingga sangat membantu mereka dalam berijtihad hukum dengan Al-Qur’an yang tersimpan di dalam dada. Para ulama dahulu mengawali pondasi ilmu dengan menghafal Al-Qur’an, sehingga bangunan ilmu menjadi mantap dan kokoh. Pun demikian seseorang yang bercita-cita menjadi ilmuwan, seyogyanya menyimpan terlebih dahulu Al-Qur’an di dalam dadanya harus dilakukan. Agar selalu ingat tugasnya sebagai hamba Allah, yakni menolong agama Allah dan selalu ingat dengan ilmu yang dimiliki. Tidak menjadikannya sekuler, mendikotomi keilmuan apapun dengan agama.

Khatib Al-Baghdadi pernah mengatakan:

يَنْبَغِيْ لِلطَّالِبِ اَنْ يَبْدَاَ بِحِفْظِ كِتَابِ اللهِ اِذْكَانَ اَجَلَّ العُلُوْمِ وَاَوْلَاهَا بِاسَّبْقِ وَالتَّقْدِيْمِ   

“Selayaknya bagi penuntut ilmu untuk memulai dengan menghafal al-Qur’am, karena itu adalah ilmu yang termulia, yangg paling utama untuk didahulukan sebelum yang lain.” (al-adab asy-syar’iyyah 3/552 oleh ibnu muflih).

Hal yang sama juga dikatakan sahabat Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:

ِاذَا اَرَدْتُمْ العِلْمَ فَانْثُرُوا هَذََا القُرْانَ فَِانَّ فِيْهِ عِلْمَ الأَوَّلِيْنَ وَالأخِريِْنَ

“Jika engkau menginginkan ilmu maka perbanyaklah Al-Qur’an ini, karena di dalamnya terdapat ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan”. (Syu’abul Iman 2/332 oleh al-Baihaqi).

Atas dasar kegundahan tersebut Pimpinan Daerah Muhammadiyah Yogyakarta mendirikan Ma’had Tahfidzil Qur’an Muhammadiyah Ibnu Juraimi. Agar nilai-nilai mulia yang terkandung di dalam Al-Qur’an terbumikan dan tersyi’arkan di tengah-tengah masyarakat. Yakni dengan memulai membaca Al-Qur’an dengan sebenar-benar bacaan, mentadabburi, berhukum, menyimpan di dalam dada (menghafalkannya) hingga pada akhirnya mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur’an di lingkungan sekitar. Ma’had Tahfidzil Qur’an Muhammadiyah Ibnu Juraimi didirikan sekaligus untuk menjawab tantangan dakwah Muhammadiyah di era sekarang. Diharapkan dapat mencetak kader hufadz persyarikatan yang berjiwa da’i, dan mubaligh, sekaligus menjadi modal utama untuk mencetak ulama Muhammadiyah yang mengetahui, faham, dan hafal Al Qur’an, seperti generasi awal ulama Muhammadiyah terdahulu. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, para santri Ma’had Tahfidzil Qur’an Muhammadiyah Ibnu Juraimi juga dibekali dirasah islamiyah, kajian kitab-kitab kuning dengan kurikulum yang terstruktur dan terukur. Semoga dengan berdirinya ma’had ini, membawa angin segar bagi umat dan persyarikatan agar lebih tercerahkan.